Koloay, Renny N. S.
(2016)
DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF DALAM TUKAR GULING
BARANG MILIK NEGARA.
Jurnal Ilmu Hukum, 3 (9).
pp. 39-47.
ISSN 2338-0063
Abstract
Kata tukar guling dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut tukar lalu, yang berarti bertukar barang dengan tidak menambah uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH.Per), tukar guling disebut dengan ruilslag yang berarti tukar guling yang didasarkan atas persetujuan pemerintah. Dalam KUH.Per. sebagaimana pasal 1541 kata tukar guling mempunyai arti suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberi suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya atas suatu barang.
Perjanjian tukar menukar adalah perjanjian timbal balik (Bilateral enitrael) maksudnya suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban keada kedua belah pihak. Perjanjian tukar menukar diatas dalam pasal 1541 sampai dengan pasal 1546 KUH pendata. Perjanjian tukar menukar bersifat konsensual yakni perikatan telah terjadi pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak yang membuat perjanjian dengan kata lain perjanjian itu sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum atau akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Akan tetapi perjanjian yang dibuat pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum menindahkan hak milik (Ownership)hak milik baru berpindah setelah dilakukan penyerahan (leverning). Dasar Hukumnya saat ini adalah UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 38 Tahun 2007, sebelumnya diatur melalui ps. 13 Keppres No.25 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 30/KMK/1995. Land Conculidation (LC) dasar Hukumnya PMNA no.4 tahun 96, intinya bahwa LC melakukan proses Penataan kembali tanah yang tidak menimbulkan konflik dengan cara “musyawarah” untuk penataan kembali tanah.contoh yang berhasil adalah Renon, Denpasar-Bali yang dibiayai oleh Pemerintah Canada 1984-1986, dikatakan berhasil karena tidak ada konflik dan wilayahnya tertata rapi. Dasar Hukumnya adalah PMNA No.2 Tahun 1999 dengan dasar Advice Planning (AP) dari Pemkot/pemkab dan Bappeda denga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai dasar Analisa. BPN/kantor pertanahan sebagai tim teknis (peninjau lapang), Land Use Planning (LUP).
Sebelum berlakunya Keppres No. 55/1993, tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, maka landasan yuridis yang digunakan dalam pengadaan tanah. Pelaksanaan pengadaan tanah dalam PMDN Nomor. 15 Tahun 1975 dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah, yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang/penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Sedangkan didalam pasal 1 butir 2 Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 menyatakan bahwa :
“pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.
Pelepasan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Pelepasan tanah ini hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai tehnik pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi yang akan diberikan terhadap tanahnya. Sebelum Keppres Nomor. 55 Tahun 1993 ditetapkan, belum ada definisi yang jelas tentang kepentingan umum yang baku. Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan tidak ada batasnya.Menurut John Selindeho, kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan hankamnas atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara. Kepentingan dalam arti luas diartikan sebagai “public benefit” sedangkan dalam arti sempit public use diartikan sebagai public access, atau apabila public access tidak dimungkinkan, maka cukup “if the entire public could use the product of the facility”.
Actions (login required)
|
View Item |